Kamis, 20 Agustus 2009
Jumat, 12 Desember 2008
Belahan Jiwa Dua Dokter Jiwa
Sumber: Trubus Online | ||||
Oleh trubusid | ||||
| ||||
Klik untuk melihat foto lainnya... | ||||
Bom yang menghancurkan tanah Lebanon baru saja meledak. Desing peluru sesekali terdengar di tengah linangan air mata pengungsi. Dari balik duka itu muncul pria berompi cokelat masuk ke sebuah rumah yang selamat. Setelah meminta izin dari si empunya, dr H Fuadi Yatim SpKj, relawan kesehatan asal Indonesia, menggunting cabang pohon tin yang tumbuh di pekarangan. Dari negeri yang tengah diamuk perang, dokter jiwa itu memboyong 50 cabang Ficus carica ukuran 20-30 cm untuk diperbanyak di tanahair. Menjadi relawan kemanusiaan ke berbagai negeri memang menjadi bagian hidup Fuadi. Namun, di tengah kesibukannya, mata dokter jiwa di RS Islam Bunga Rampai itu selalu mencari hal yang sama. 'Di setiap negeri yang saya kunjungi, mencari bibit buah menjadi sebuah kewajiban,' kata aktivis Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) itu. Saat masih aktif di Ikatan Dokter Indonesia (IDI) misalnya. Fuadi memilih berburu cabang jambu air ketimbang belanja di sela-sela acara IDI di Taiwan. Cinta Fuadi pada buah-buahan memang sudah 'akut'. 'Tak menyiram tanaman sehari, pikiran menjadi kurang tenang,' ujar spesialis kejiwaan jebolan Universitas Indonesia itu. Itu bermula saat Fuadi menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada 1980. Di saat kelelahan karena terik matahari yang menyengat ia tertarik pada sebuah rumah yang pekarangannya menghijau. Di sana hamparan rumput dan pohon buah tumbuh subur. Pemilik rumah rutin menyiram tanaman yang tumbuh di tanah pasir itu. Hobi pemilik rumah di Mekkah itulah yang menular pada Fuadi. Sepulang dari tanah suci ayah 4 anak itu kerap nongkrong di penjual bibit buah-buahan di Pasarminggu dan Ragunan, Jakarta Selatan. 'Pulang memberi kuliah di universitas, saya belajar mengokulasi belimbing pada tukang kebun,' kata mantan dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu. Pengalaman praktek menggunakan pisau di dunia kedokteran membuat Fuadi gampang melepas kulit batang tanaman dari kambium. Setahun berselang, pada 1981, kediaman Fuadi sudah penuh dengan bibit belimbing. TerapiMenurut Fuadi bukan tanpa alasan hobi itu digeluti secara serius di tengah aktivitas berpraktek, mengajar, dan menjadi relawan. 'Dari segi ilmu kejiwaan hobi memelihara tanaman bagian dari sebuah terapi regresi,' katanya. Secara teori, regresi ialah menarik kehidupan ke masa lampau yang indah. Saat menyiram tanaman kita seperti kembali pada masa kanak-kanak yang gemar bermain air dengan bebas. Fuadi pun seperti tertarik pada masa lampau di Batusangkar, Sumatera Barat, yang sering pergi ke ladang menanam terung dan memelihara bebek. Karena pijakan teori itulah, Fuadi kerap menyarankan pada keluarga pasien yang datang agar penderita gangguan jiwa menggeluti hobi bercocok tanam. 'Mereka tak bisa bekerja keras. Menyiram tanaman bisa menjadi aktivitas positif yang gampang dilakukan,' tuturnya. Ia merujuk pada banyaknya penderita gangguan jiwa yang sering berlama-lama di kamar mandi. Itu karena mereka senang bermain dengan air seperti bocah kecil. Menyiram tanaman mengalihkan bermain air tanpa guna menjadi hal yang bermanfaat. Kini, 27 tahun berselang, hobi Fuadi mengoleksi buah-buahan semakin 'kronis'. Terutama setelah mangga lazis djiddan yang diperoleh dari Cirebon 15 tahun silam dinobatkan sebagai pemenang buah unggul 2003. Kemenangan itu menjadi sebuah tonggak sejarah baru. Bibit lazis djiddan menjadi laris manis. Buah lain seperti mangga tsunami, jambu pihinwai, dan tin ikut laris. 'Tadinya hanya hobi, sekarang bisa menambah pendapatan yang lumayan,' kata kakek 4 cucu itu. Pantas papan nama praktek dokter jiwa di bilangan Cipinang, Jakarta Timur, itu kini bersanding dengan papan nama kebun bibit buah. Buah langkaPsikiater yang juga hobi mengoleksi buah-buahan ialah dr M Hendrarko SpKj di Malang, Jawa Timur. Spesialis kejiwaan jebolan Universitas Airlangga itu mengoleksi buah-buahan di sebuah kebun seluas 400 m2. Kebun itu terletak di belakang Panti Cacat dan Rehabilitasi Mutiara Bunda di Lawang, Malang, yang dihuni 30 pasien penderita gangguan jiwa. 'Sebelum mengunjungi pasien, saya lihat kebun dulu. Begitu pula ketika mau pulang,' kata mantan pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya itu. Hendrarko pun sependapat dengan Fuadi. 'Bertanam buah mendatangkan kepuasan batin, apalagi saat memetik buah yang matang,' kata ayah 4 anak itu. Yang membedakan, Hendrarko cenderung mengoleksi buah langka dan belum populer di tanahair. Misal, pineaple guava, brazilian cherry, black sapote, dan white sapote. Dua yang disebut pertama berasal dari Australia dan Selandia Baru. Menurut Hendrarko, menjadi suatu kebanggaan bila tercatat sebagai orang yang mengintroduksi tanaman luar ke tanahair. Memang dari tangan Hendrarko buah-buahan itu lalu beredar ke Jakarta, Blitar, Bali, hingga Medan dan Bulungan. Dua tahun bertanam di kebun koleksi tak membuat konsultan medis perusahaan rokok itu puas. 'Setelah melihatnya, banyak kenalan yang memesan bibit, sementara lahan sempit,' katanya. Hendrarko pun membuka lahan bekas sawah seluas 2 ha di Bunton, Malang, sebagai kebun produksi bibit dan tabulampot sejak 3,5 tahun silam. Pembukaan kebun dilakukan bertahap dimulai dengan luasan 4.000 m2. Ia pun menggandeng seorang sarjana pertanian untuk mengelola kebun. Kini dari kebun di ketinggian 400 m dpl itu setiap bulan diproduksi ratusan bibit buah-buahan. Perban indukYang menarik, ilmu kedokteran Hendrarko ternyata berguna untuk memproduksi bibit. Sebut saja saat alumnus Fakultas Kedokteran UGM itu mengatasi hama pengerek batang yang menyerang induk tanaman. 'Disemprot pestisida tak mempan. Cairan langsung kering, hama kembali menyerang,' ujarnya. Penangkar lain banyak mengatasi penggerek dengan menggunakan kuas untuk mengoles pestisida. Hendrarko membasahi kapas dengan larutan pestisida. Lalu batang yang terserang dibungkus kapas dan diikat dengan plastik transparan. Mirip perban pada pasien yang luka. Dengan cara itu hama di dalam batang mati, luka pun berangsur pulih. Menurut Hendrarko dasar ilmu kimia dan biokimia di Fakultas Kedokteran yang dipelajarinya memudahkan mempelajari tanaman. 'Prinsip dasarnya sama, hanya objek yang berbeda,' katanya. Lantaran itu tak heran kedua dokter jiwa itu dengan mudah menjiwai hobi mengkoleksi tanaman buah. (Destika Cahyana) |
Jumat, 14 November 2008
Farming Bird's Nests in the City
A coffee shop in the northeastern Malaysian city of Khota Bahru rings with the incessant chirping of what sounds like hundreds of birds although only 20 or so flit about. Asked about the mystery, a woman named Lim said “It's artificial. The bird nest farmers put the music on to attract the birds."
Far from the jungles of Malaysia, Indonesia and the Philippines, where swifts, tiny, fast-flying birds about the size of a sparrow, build their nests in the crevices and corners of caves in total darkness, Kota Bahru is turning into a city of birds. The sound is designed to attract swifts so that collectors can steal their nests, capitalizing on soaring demand for birds’ nest products.
In Kota Bahru, the capital of the northern state of Kelantan in peninsular Malaysia, creative businessmen have brought the swifts’ traditional breeding grounds to them – making it a lot easier to steal the nests than the traditional time-honored way, clambering up shaky bamboo ladders in total darkness in caves to “mine” the nests, fighting off giant crickets and snakes that can climb the walls to snap up chicks. A vast array of other creatures live in the caves, feeding on the guano that the birds have left in the caves for millennia and making it no fun for the nest farmers.
Here, however, it’s infinitely easier, and less hazardous. The houses that are turned into caves have their windows sealed to create a dark, cave-like environment. Nests are also farmed in Thailand in much the same way. Pigeon holes dot the outer walls. Some even have humidifiers to create the damp atmosphere that the birds like. Such buildings dot the town, some of them shophouses in the older parts of the city dating back to before the Japanese occupation from 1939 to 1945.
|
According to Ms Lim, these "bird houses" are popular, as their nests can fetch up to RM5,000 (US$1,532) per kg depending on the quality. |
According to Ms Lim, these "bird houses" are popular, as their nests can fetch up to RM5,000 (US$1,532) per kg depending on the quality. The highest grades are curved like a bowl, and clean. The swifts build their nests from their saliva, which hardens into a bowl shape. In raw form, the nests are usually a mix of saliva, feathers and even droppings before they are cleaned. They are basically tasteless until mixed into soup. But as with many products in Asia, it is assumed that the saliva has a wide range of health-giving qualities – including, inevitably, acting as an aphrodisiac, in addition to clearing up skin problems, reinforcing the immune system, strengthening the lungs and improving the constitution. It is also believed to balance the mysterious force known as qi, or life force.
The Chinese have been eating birds’ nest soup at least since the T’ang Dynasty, AD 618-907, importing the nests mostly from the island of Borneo, but the Communists put a stop to it when they took over in 1949, considering consumption to be “extravagant.” That era is long gone. The fast-growing wealth of the Chinese has led to a surge in demand for the ingredients, with the country importing so much from tropical countries that it is threatening swift populations and has led the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, more popularly known as CITES, to consider adding swifts to its list of endangered species.
In Hong Kong, always a birds’ nest bastion, a bowl of bird's nest soup can cost from US$30 to US$100. A decent bowl of quality soup is about US$50. As China's economy has continued to boom, prices have skyrocketed but locals lament that they may be eating fake nests in a country where forgery is rampant. In the west, birds’ nest soup is often dried noodles rather than the real thing, but westerners don’t know the difference, by and large.
The high prices have generated a spate of burglaries in Kota Bahru. Hence, many have fortified security, including closed-circuit cameras (CCTV), barbed wire and heavy-duty locks. But still these don't deter determined thieves armed with industrial lock cutters.
Kota Bahru’s farmers, most of them Chinese, are secretive about the trade and how to generate it. Certainly, the birds can be fickle. If they come, they create a money machine that requires little maintenance. All is necessary is to harvest and clean the erstwhile cave. But turning a shophouse into a cave depends on location, luck and technology.
Some parts of the city attract more birds than others, the farmers say, although why is a mystery. "This is a Grade A area. See lots of birds flying around," Lim said. Property prices in such zones are higher. Some shophouses can cost more than RM1 million (US$306,000), an exorbitant amount considering rental income for the ground floor averages around RM2,000 (US$612).
To lure the birds, which breed in colonies, the sweet sounds of chirping females are played constantly on expensive high-fidelity speakers. According to one breeder, playing the wrong “music" will repel the birds. Residents around such farms have grown so accustomed to the sound that the constant chirps no longer irritate but have become familiar background noise.
But even setting up a pseudo-cave in a Grade A area and playing the right music may not guarantee that the birds will come. A degree of luck is involved as some hardly have any birds building nests. "Some of them just attract bats only," Lim said with a laugh.
Written by Jed Yoong | |
Wednesday, 11 June 2008 |
Kamis, 23 Oktober 2008
BIRD'S NEST RECIPES
Ingredients:
113 g superior bird's nest, soaked until soft
1 mature chicken
300 g pork shoulder bone
19 g ham, sliced
2 slices of ginger
12 cups of water
salt
ham shreds
Method:
1. Remove the innards of chicken, wash, skin and cut off head and feet. Wash and parboil pork shoulder bone together with chicken. 2. Bring 12 cups of water to boil in crockery pot. Add chicken, pork shoulder bone, ham slices and ginger slices and bring them to boil. Reduce to low heat, cook for 3 hours and remove the residue from stock. 3. Pour stock into a stewing pot. Add bird's nest, cover and stew for 40 minutes. Dish up with stewing pot, season with salt or not and sprinkle with ham shreds.
BIRD'S NEST IN WINTER MELON
Ingredients:
150 g superior bird's nest, soaked until soft and stewed
3 kg winter melon
75 g dried lotus seeds
113 g chicken
113 g crab meat
38 g ham
4 cups stock
salt
Marinade:
1/4 tsp salt
1/2 tsp caltrop starch
1 tbsp water
Method: 1. Wash surface of winter melon, scoop out seeds and pith with a metal spoon. Parboil in boiling water, remove, rinse and drain. 2. Wash dried lotus seeds, soak until soft and seed. Slice half of the ham and shred the rest. 3. Dice chicken, marinate and parboil. 4. Put winter melon into a deep bowl. Add dried lotus seeds, ham slices and stock to the winter melon. Stew for 1 hour, add chicken, bird's nest and crab meat and stew for 20 more minutes. Season with salt, dish up in stewing pot and sprinkle with ham shreds.
STEWED BIRD'S NEST WITH BLACK CHICKEN AND CHINESE CORDYCEPS
Ingredients:
113 g superior bird's nest, soaked until soft and stewed.
13 g Chinese cordyceps
4 red dates
1 black-skinned chicken
113 g lean pork
2 slices of ginger
4 cups of boiling water
salt
Method:
1. Wash Chinese cordyceps. Wash and core red dates
2. Remove innards of black chicken and wash. Parboil, rinse and drain together with lean pork. Put chicken and lean pork into a stewing pot. Add Chinese cordyceps, red dates, ginger and boiling water. Cover and stew for 3 hours. Add bird's nest and stew for 30 minutes. Season with salt and dish up in stewing pot.
STEWED LILY BULBS WITH BLOOD-RED BIRD'S NEST
Ingredients:
113 g blood-red bird's nest, soaked until soft
19 g white fungi
2 fresh lily bulbs
3 cups stock
salt
Method:
1. Soak and trim white fungi. Tear into small pieces and wash. Parboil in boiling water, remove and drain. 2. Cut lily bulbs apart, wash and put them into a stewing pot. Add bird's nest, white fungi and stock, cover and stew for 1 1/2 hour. Season with salt and dish up in stewing pot
CHICKEN AND ABALONE CONGEE WITH BIRD'S NEST
Ingredients:
113 g superior bird's nest, soaked.
113 g long-grain rice
10 cups water
38 g small dried abalones
1/2 chicken
salt
ham puree
Method:
1. Wash and soak rice for 1 hour.
2. Cook abalones in boiling water over low heat for 10 minutes. Turn off the stove and cover for 30 minutes. Remove abalones, rub and wash with warm water (if wash with cold water, the gelatinous substance will solidify and the abalones will not become soft with cooked).
Cook abalones in the boiling water with ginger, spring onion and wine for 5 minutes. 3. Skin chicken, parboil in boiling water and rinse.
4. Bring 10 cups of water to the boil. Add chicken, abalones and rice and bring to the boil. Reduce to low heat and cook until congee is smooth. Remove chicken and abalones. Add bird's nest to congee and cook over low heat for 20 minutes. 5. Tear chicken into fine shreds and slice abalones. Add chicken and abalones to congee, season with salt and sprinkle with ham puree.
SHREDDED CHICKEN CONGEE WITH BIRD'S NEST
Ingredients:
113 g bird's nest, soaked until soft and stewed
113 g long-grain rice
1/2 chicken
1 slice of ginger
ham puree
spring onion dices
10 cups water
salt
Method: 1. Wash rice, combine with oil and salt and marinate for 1 hour. 2. Wash chicken, tear the skin off, parboil in boiling water and rinse. 3. Bring 10 cups of water to the boil. Add rice, chicken and ginger and bring to boil. Reduce to low heat and cook until congee is smooth. Remove chicken, tear into fine shreds and discard bone. Return chicken to congee, add bird's nest and cook for 5 minutes. Season with salt and sprinkle with ham puree and spring onion dices
Senin, 15 September 2008
Halmahera, Sentra Baru Cericit Walet
Oleh trubusid | ||||
| ||||
Klik untuk melihat foto lainnya... | ||||
Peta dalam buku Swifts A Guide to The Swifts and Treeswifts of The World karangan Phil Chantler dan Gerald Driessens pada 2000 tentang lokasi lintasan walet di kawasan Timur Indonesia perlu perbaikan. Keduanya tidak memasukkan Pulau Halmahera di Maluku Utara sebagai habitat si liur emas Collocalia fuciphaga. Padahal, 'Sejak lama di sana banyak sekali walet,' ujar Dr Boedi Mranata, praktikus walet di Jakarta Selatan. Boedi membuktikan itu saat berkunjung ke pulau seluas 17.780 km2 itu untuk mengikuti undangan Lokakarya Awal Program Kemitraan untuk Pengelolaan Konservasi di Taman Nasional Aketajawe Lolobata, di Lolobata, Halmahera, Maluku Utara, pada April 2008. Kedatangan pengusaha sarang walet yang menjabat sebagai patron bird life Indonesia beserta rombongan itu bertujuan memperkenalkan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. Selama perjalanan ke sana Boedi mengamati keberadaan si liur emas. Pengamatan dimulai sejak meninggalkan Manado menuju Bandara Sultan Baabullah di Ternate. Di ibukota Maluku Utara itu Boedi menyaksikan puluhan sriti terbang mencari pakan. 'Tapi tidak ada satu pun rumah walet di sana,' tuturnya. Pemandangan serupa terlihat saat menuju Pulau Tidore. Sriti beterbangan, tapi tidak ditemukan satu pun burung walet. Sarang gua Setelah bermalam di Ternate, perjalanan dilanjutkan menuju Halmahera menggunakan speed boat 40 PK. Sejam berlayar tibalah Boedi di Payahe. Dari sana alumnus Biologi di Universiteit Hamburg Jerman itu melanjutkan perjalanan ke Sidagoli sampai Jailolo. Sepanjang perjalanan Boedi melihat puluhan sriti terbang mencari pakan. 'Di sana ukuran sriti lebih besar dan gempal daripada saudaranya di Pulau Jawa,' kata pelindung dari pengelolaan Hutan Harapan di Jambi itu. Sekilas tubuh bongsor itu menyerupai walet. Harap mafhum, ukuran tubuh sriti hanya 10% lebih kecil dari walet. Di Pulau Jawa perbedaan itu sangat mencolok, mencapai 30%. Tak hanya itu, warna bulu sriti di sana lebih gelap. 'Bulu putih di dada yang menjadi penanda sriti tak terlihat secara kasat mata,' tutur Boedi. Kehadiran walet di tanah Halmahera sangat mungkin. Musababnya, iklim di pulau itu cocok untuk walet. Suhu berkisar 28°C dan kelembapan 80-90%, misalnya. Selain itu 'Dari selatan sampai utara Halmahera terdapat bukit yang hutannya alami dan pohon-pohon kelapa di pinggir pantai,' tambah Boedi yang terbang dengan helikopter untuk melihat kondisi lingkungan Halmahera dari udara. Dengan kondisi itu dapat dipastikan: serangga, sumber pakan walet, melimpah. Keyakinan Boedi terjawab setelah Basri Amal, sekretaris daerah (Sekda) Halmahera Tengah yang bertemu rombongan, menyebut kan Halmahera punya 2 sentra penghasil sarang walet: Loloda dan Wasile. 'Loloda yang terbesar,' ujar Basri. Sarang berasal dari gua-gua. Sayangnya, belum ada data volume produksi. Namun, berdasarkan pengamatan Basri produksi sarang bisa mencapai 200 kg/tahun. Kualitas sarang yang dihasilkan tak jauh berbeda dengan sarang walet rumahan asal Pantura dan Sumatera. 'Tebal dan berbentuk mangkuk,' kata Basri. Penampilan sarang seperti itu terjadi karena musim hujan di Halmahera sangat panjang, rata-rata 10 bulan per tahun. Itu artinya walet tak perlu terbang jauh untuk mendapatkan serangga yang berkembangbiak di musim penghujan. Imbasnya energi yang ada lebih banyak dipakai untuk memproduksi liur. Potensial Lantaran berada di Indonesia Timur, kemungkinan besar tingkat keberhasilan putar telur di Halmahera sama seperti di Sulawesi Utara yang mencapai lebih dari 50%. Itu artinya bila 10.000 telur sriti ditukar dengan telur walet akan ada lebih dari 5.000 walet. Di Pulau Jawa hampir semua telur yang ditukar menetas, tapi yang kembali untuk bersarang hanya 10%. Meski begitu bukan perkara mudah membuat walet berkembang di lokasi ini. Harap mafhum, banyak jalan antarkota dan daerah yang belum dibenahi sehingga akses menuju lokasi sangat sulit. Menurut Boedi bila kendala itu teratasi Halmahera potensial menjadi sentra walet di timur Indonesia. 'Semoga banyak investor yang melirik ke sana,' harap Boedi yang menutup perjalanan dengan melihat burung-burung endemik di Wedabe. (Lastioro Anmi Tambunan) |
Sabtu, 16 Agustus 2008
Perilaku Seks Burung Walet
Papua Surga bagi Satwa
Papua, 'Surga' bagi Satwa | |
|