Jumat, 12 Desember 2008

Belahan Jiwa Dua Dokter Jiwa

Sumber: Trubus Online

Oleh trubusid

Jumat, Oktober 17, 2008 10:54:56
Klik untuk melihat foto lainnya...

Bom yang menghancurkan tanah Lebanon baru saja meledak. Desing peluru sesekali terdengar di tengah linangan air mata pengungsi. Dari balik duka itu muncul pria berompi cokelat masuk ke sebuah rumah yang selamat. Setelah meminta izin dari si empunya, dr H Fuadi Yatim SpKj, relawan kesehatan asal Indonesia, menggunting cabang pohon tin yang tumbuh di pekarangan. Dari negeri yang tengah diamuk perang, dokter jiwa itu memboyong 50 cabang Ficus carica ukuran 20-30 cm untuk diperbanyak di tanahair.

Menjadi relawan kemanusiaan ke berbagai negeri memang menjadi bagian hidup Fuadi. Namun, di tengah kesibukannya, mata dokter jiwa di RS Islam Bunga Rampai itu selalu mencari hal yang sama. 'Di setiap negeri yang saya kunjungi, mencari bibit buah menjadi sebuah kewajiban,' kata aktivis Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) itu. Saat masih aktif di Ikatan Dokter Indonesia (IDI) misalnya. Fuadi memilih berburu cabang jambu air ketimbang belanja di sela-sela acara IDI di Taiwan.

Cinta Fuadi pada buah-buahan memang sudah 'akut'. 'Tak menyiram tanaman sehari, pikiran menjadi kurang tenang,' ujar spesialis kejiwaan jebolan Universitas Indonesia itu. Itu bermula saat Fuadi menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada 1980. Di saat kelelahan karena terik matahari yang menyengat ia tertarik pada sebuah rumah yang pekarangannya menghijau. Di sana hamparan rumput dan pohon buah tumbuh subur. Pemilik rumah rutin menyiram tanaman yang tumbuh di tanah pasir itu.

Hobi pemilik rumah di Mekkah itulah yang menular pada Fuadi. Sepulang dari tanah suci ayah 4 anak itu kerap nongkrong di penjual bibit buah-buahan di Pasarminggu dan Ragunan, Jakarta Selatan. 'Pulang memberi kuliah di universitas, saya belajar mengokulasi belimbing pada tukang kebun,' kata mantan dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu. Pengalaman praktek menggunakan pisau di dunia kedokteran membuat Fuadi gampang melepas kulit batang tanaman dari kambium. Setahun berselang, pada 1981, kediaman Fuadi sudah penuh dengan bibit belimbing.

Terapi

Menurut Fuadi bukan tanpa alasan hobi itu digeluti secara serius di tengah aktivitas berpraktek, mengajar, dan menjadi relawan. 'Dari segi ilmu kejiwaan hobi memelihara tanaman bagian dari sebuah terapi regresi,' katanya. Secara teori, regresi ialah menarik kehidupan ke masa lampau yang indah. Saat menyiram tanaman kita seperti kembali pada masa kanak-kanak yang gemar bermain air dengan bebas. Fuadi pun seperti tertarik pada masa lampau di Batusangkar, Sumatera Barat, yang sering pergi ke ladang menanam terung dan memelihara bebek.

Karena pijakan teori itulah, Fuadi kerap menyarankan pada keluarga pasien yang datang agar penderita gangguan jiwa menggeluti hobi bercocok tanam. 'Mereka tak bisa bekerja keras. Menyiram tanaman bisa menjadi aktivitas positif yang gampang dilakukan,' tuturnya. Ia merujuk pada banyaknya penderita gangguan jiwa yang sering berlama-lama di kamar mandi. Itu karena mereka senang bermain dengan air seperti bocah kecil. Menyiram tanaman mengalihkan bermain air tanpa guna menjadi hal yang bermanfaat.

Kini, 27 tahun berselang, hobi Fuadi mengoleksi buah-buahan semakin 'kronis'. Terutama setelah mangga lazis djiddan yang diperoleh dari Cirebon 15 tahun silam dinobatkan sebagai pemenang buah unggul 2003. Kemenangan itu menjadi sebuah tonggak sejarah baru. Bibit lazis djiddan menjadi laris manis. Buah lain seperti mangga tsunami, jambu pihinwai, dan tin ikut laris. 'Tadinya hanya hobi, sekarang bisa menambah pendapatan yang lumayan,' kata kakek 4 cucu itu. Pantas papan nama praktek dokter jiwa di bilangan Cipinang, Jakarta Timur, itu kini bersanding dengan papan nama kebun bibit buah.

Buah langka

Psikiater yang juga hobi mengoleksi buah-buahan ialah dr M Hendrarko SpKj di Malang, Jawa Timur. Spesialis kejiwaan jebolan Universitas Airlangga itu mengoleksi buah-buahan di sebuah kebun seluas 400 m2. Kebun itu terletak di belakang Panti Cacat dan Rehabilitasi Mutiara Bunda di Lawang, Malang, yang dihuni 30 pasien penderita gangguan jiwa. 'Sebelum mengunjungi pasien, saya lihat kebun dulu. Begitu pula ketika mau pulang,' kata mantan pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya itu.

Hendrarko pun sependapat dengan Fuadi. 'Bertanam buah mendatangkan kepuasan batin, apalagi saat memetik buah yang matang,' kata ayah 4 anak itu. Yang membedakan, Hendrarko cenderung mengoleksi buah langka dan belum populer di tanahair. Misal, pineaple guava, brazilian cherry, black sapote, dan white sapote. Dua yang disebut pertama berasal dari Australia dan Selandia Baru. Menurut Hendrarko, menjadi suatu kebanggaan bila tercatat sebagai orang yang mengintroduksi tanaman luar ke tanahair. Memang dari tangan Hendrarko buah-buahan itu lalu beredar ke Jakarta, Blitar, Bali, hingga Medan dan Bulungan.

Dua tahun bertanam di kebun koleksi tak membuat konsultan medis perusahaan rokok itu puas. 'Setelah melihatnya, banyak kenalan yang memesan bibit, sementara lahan sempit,' katanya. Hendrarko pun membuka lahan bekas sawah seluas 2 ha di Bunton, Malang, sebagai kebun produksi bibit dan tabulampot sejak 3,5 tahun silam. Pembukaan kebun dilakukan bertahap dimulai dengan luasan 4.000 m2. Ia pun menggandeng seorang sarjana pertanian untuk mengelola kebun. Kini dari kebun di ketinggian 400 m dpl itu setiap bulan diproduksi ratusan bibit buah-buahan.

Perban induk

Yang menarik, ilmu kedokteran Hendrarko ternyata berguna untuk memproduksi bibit. Sebut saja saat alumnus Fakultas Kedokteran UGM itu mengatasi hama pengerek batang yang menyerang induk tanaman. 'Disemprot pestisida tak mempan. Cairan langsung kering, hama kembali menyerang,' ujarnya.

Penangkar lain banyak mengatasi penggerek dengan menggunakan kuas untuk mengoles pestisida. Hendrarko membasahi kapas dengan larutan pestisida. Lalu batang yang terserang dibungkus kapas dan diikat dengan plastik transparan. Mirip perban pada pasien yang luka. Dengan cara itu hama di dalam batang mati, luka pun berangsur pulih.

Menurut Hendrarko dasar ilmu kimia dan biokimia di Fakultas Kedokteran yang dipelajarinya memudahkan mempelajari tanaman. 'Prinsip dasarnya sama, hanya objek yang berbeda,' katanya. Lantaran itu tak heran kedua dokter jiwa itu dengan mudah menjiwai hobi mengkoleksi tanaman buah. (Destika Cahyana)

Jumat, 14 November 2008

Farming Bird's Nests in the City

Kota Bahru’s merchants find a lucrative second income in their eaves and attics


birdsnest A coffee shop in the northeastern Malaysian city of Khota Bahru rings with the incessant chirping of what sounds like hundreds of birds although only 20 or so flit about. Asked about the mystery, a woman named Lim said “It's artificial. The bird nest farmers put the music on to attract the birds."


Far from the jungles of Malaysia, Indonesia and the Philippines, where swifts, tiny, fast-flying birds about the size of a sparrow, build their nests in the crevices and corners of caves in total darkness, Kota Bahru is turning into a city of birds. The sound is designed to attract swifts so that collectors can steal their nests, capitalizing on soaring demand for birds’ nest products.


In Kota Bahru, the capital of the northern state of Kelantan in peninsular Malaysia, creative businessmen have brought the swifts’ traditional breeding grounds to them – making it a lot easier to steal the nests than the traditional time-honored way, clambering up shaky bamboo ladders in total darkness in caves to “mine” the nests, fighting off giant crickets and snakes that can climb the walls to snap up chicks. A vast array of other creatures live in the caves, feeding on the guano that the birds have left in the caves for millennia and making it no fun for the nest farmers.


Here, however, it’s infinitely easier, and less hazardous. The houses that are turned into caves have their windows sealed to create a dark, cave-like environment. Nests are also farmed in Thailand in much the same way. Pigeon holes dot the outer walls. Some even have humidifiers to create the damp atmosphere that the birds like. Such buildings dot the town, some of them shophouses in the older parts of the city dating back to before the Japanese occupation from 1939 to 1945.


birdhouse2

According to Ms Lim, these "bird houses" are popular, as their nests can fetch up to RM5,000 (US$1,532) per kg depending on the quality.

According to Ms Lim, these "bird houses" are popular, as their nests can fetch up to RM5,000 (US$1,532) per kg depending on the quality. The highest grades are curved like a bowl, and clean. The swifts build their nests from their saliva, which hardens into a bowl shape. In raw form, the nests are usually a mix of saliva, feathers and even droppings before they are cleaned. They are basically tasteless until mixed into soup. But as with many products in Asia, it is assumed that the saliva has a wide range of health-giving qualities – including, inevitably, acting as an aphrodisiac, in addition to clearing up skin problems, reinforcing the immune system, strengthening the lungs and improving the constitution. It is also believed to balance the mysterious force known as qi, or life force.


The Chinese have been eating birds’ nest soup at least since the T’ang Dynasty, AD 618-907, importing the nests mostly from the island of Borneo, but the Communists put a stop to it when they took over in 1949, considering consumption to be “extravagant.” That era is long gone. The fast-growing wealth of the Chinese has led to a surge in demand for the ingredients, with the country importing so much from tropical countries that it is threatening swift populations and has led the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, more popularly known as CITES, to consider adding swifts to its list of endangered species.


In Hong Kong, always a birds’ nest bastion, a bowl of bird's nest soup can cost from US$30 to US$100. A decent bowl of quality soup is about US$50. As China's economy has continued to boom, prices have skyrocketed but locals lament that they may be eating fake nests in a country where forgery is rampant. In the west, birds’ nest soup is often dried noodles rather than the real thing, but westerners don’t know the difference, by and large.


The high prices have generated a spate of burglaries in Kota Bahru. Hence, many have fortified security, including closed-circuit cameras (CCTV), barbed wire and heavy-duty locks. But still these don't deter determined thieves armed with industrial lock cutters.


Kota Bahru’s farmers, most of them Chinese, are secretive about the trade and how to generate it. Certainly, the birds can be fickle. If they come, they create a money machine that requires little maintenance. All is necessary is to harvest and clean the erstwhile cave. But turning a shophouse into a cave depends on location, luck and technology.


Some parts of the city attract more birds than others, the farmers say, although why is a mystery. "This is a Grade A area. See lots of birds flying around," Lim said. Property prices in such zones are higher. Some shophouses can cost more than RM1 million (US$306,000), an exorbitant amount considering rental income for the ground floor averages around RM2,000 (US$612).


To lure the birds, which breed in colonies, the sweet sounds of chirping females are played constantly on expensive high-fidelity speakers. According to one breeder, playing the wrong “music" will repel the birds. Residents around such farms have grown so accustomed to the sound that the constant chirps no longer irritate but have become familiar background noise.


But even setting up a pseudo-cave in a Grade A area and playing the right music may not guarantee that the birds will come. A degree of luck is involved as some hardly have any birds building nests. "Some of them just attract bats only," Lim said with a laugh.

Written by Jed Yoong
Wednesday, 11 June 2008

Kamis, 23 Oktober 2008

BIRD'S NEST RECIPES

CLEAR SIMMERED BIRD'S NEST
Ingredients:
113 g superior bird's nest, soaked until soft
1 mature chicken
300 g pork shoulder bone
19 g ham, sliced
2 slices of ginger
12 cups of water
salt
ham shreds

Method:
1. Remove the innards of chicken, wash, skin and cut off head and feet. Wash and parboil pork shoulder bone together with chicken. 2. Bring 12 cups of water to boil in crockery pot. Add chicken, pork shoulder bone, ham slices and ginger slices and bring them to boil. Reduce to low heat, cook for 3 hours and remove the residue from stock. 3. Pour stock into a stewing pot. Add bird's nest, cover and stew for 40 minutes. Dish up with stewing pot, season with salt or not and sprinkle with ham shreds.



BIRD'S NEST IN WINTER MELON
Ingredients:
150 g superior bird's nest, soaked until soft and stewed
3 kg winter melon
75 g dried lotus seeds
113 g chicken
113 g crab meat
38 g ham
4 cups stock
salt

Marinade:
1/4 tsp salt
1/2 tsp caltrop starch
1 tbsp water

Method: 1. Wash surface of winter melon, scoop out seeds and pith with a metal spoon. Parboil in boiling water, remove, rinse and drain. 2. Wash dried lotus seeds, soak until soft and seed. Slice half of the ham and shred the rest. 3. Dice chicken, marinate and parboil. 4. Put winter melon into a deep bowl. Add dried lotus seeds, ham slices and stock to the winter melon. Stew for 1 hour, add chicken, bird's nest and crab meat and stew for 20 more minutes. Season with salt, dish up in stewing pot and sprinkle with ham shreds.



STEWED BIRD'S NEST WITH BLACK CHICKEN AND CHINESE CORDYCEPS
Ingredients:
113 g superior bird's nest, soaked until soft and stewed.
13 g Chinese cordyceps
4 red dates
1 black-skinned chicken
113 g lean pork
2 slices of ginger
4 cups of boiling water
salt

Method:
1. Wash Chinese cordyceps. Wash and core red dates
2. Remove innards of black chicken and wash. Parboil, rinse and drain together with lean pork. Put chicken and lean pork into a stewing pot. Add Chinese cordyceps, red dates, ginger and boiling water. Cover and stew for 3 hours. Add bird's nest and stew for 30 minutes. Season with salt and dish up in stewing pot.



STEWED LILY BULBS WITH BLOOD-RED BIRD'S NEST
Ingredients:
113 g blood-red bird's nest, soaked until soft
19 g white fungi
2 fresh lily bulbs
3 cups stock
salt

Method:
1. Soak and trim white fungi. Tear into small pieces and wash. Parboil in boiling water, remove and drain. 2. Cut lily bulbs apart, wash and put them into a stewing pot. Add bird's nest, white fungi and stock, cover and stew for 1 1/2 hour. Season with salt and dish up in stewing pot



CHICKEN AND ABALONE CONGEE WITH BIRD'S NEST
Ingredients:
113 g superior bird's nest, soaked.
113 g long-grain rice
10 cups water
38 g small dried abalones
1/2 chicken
salt
ham puree

Method:
1. Wash and soak rice for 1 hour.
2. Cook abalones in boiling water over low heat for 10 minutes. Turn off the stove and cover for 30 minutes. Remove abalones, rub and wash with warm water (if wash with cold water, the gelatinous substance will solidify and the abalones will not become soft with cooked).
Cook abalones in the boiling water with ginger, spring onion and wine for 5 minutes. 3. Skin chicken, parboil in boiling water and rinse.
4. Bring 10 cups of water to the boil. Add chicken, abalones and rice and bring to the boil. Reduce to low heat and cook until congee is smooth. Remove chicken and abalones. Add bird's nest to congee and cook over low heat for 20 minutes. 5. Tear chicken into fine shreds and slice abalones. Add chicken and abalones to congee, season with salt and sprinkle with ham puree.



SHREDDED CHICKEN CONGEE WITH BIRD'S NEST
Ingredients:
113 g bird's nest, soaked until soft and stewed
113 g long-grain rice
1/2 chicken
1 slice of ginger
ham puree
spring onion dices
10 cups water
salt

Method: 1. Wash rice, combine with oil and salt and marinate for 1 hour. 2. Wash chicken, tear the skin off, parboil in boiling water and rinse. 3. Bring 10 cups of water to the boil. Add rice, chicken and ginger and bring to boil. Reduce to low heat and cook until congee is smooth. Remove chicken, tear into fine shreds and discard bone. Return chicken to congee, add bird's nest and cook for 5 minutes. Season with salt and sprinkle with ham puree and spring onion dices

Senin, 15 September 2008

Halmahera, Sentra Baru Cericit Walet

Oleh trubusid
Kamis, September 04, 2008 16:04:54
Klik untuk melihat foto lainnya...

Peta dalam buku Swifts A Guide to The Swifts and Treeswifts of The World karangan Phil Chantler dan Gerald Driessens pada 2000 tentang lokasi lintasan walet di kawasan Timur Indonesia perlu perbaikan. Keduanya tidak memasukkan Pulau Halmahera di Maluku Utara sebagai habitat si liur emas Collocalia fuciphaga. Padahal, 'Sejak lama di sana banyak sekali walet,' ujar Dr Boedi Mranata, praktikus walet di Jakarta Selatan.

Boedi membuktikan itu saat berkunjung ke pulau seluas 17.780 km2 itu untuk mengikuti undangan Lokakarya Awal Program Kemitraan untuk Pengelolaan Konservasi di Taman Nasional Aketajawe Lolobata, di Lolobata, Halmahera, Maluku Utara, pada April 2008. Kedatangan pengusaha sarang walet yang menjabat sebagai patron bird life Indonesia beserta rombongan itu bertujuan memperkenalkan Taman Nasional Aketajawe-Lolobata. Selama perjalanan ke sana Boedi mengamati keberadaan si liur emas.

Pengamatan dimulai sejak meninggalkan Manado menuju Bandara Sultan Baabullah di Ternate. Di ibukota Maluku Utara itu Boedi menyaksikan puluhan sriti terbang mencari pakan. 'Tapi tidak ada satu pun rumah walet di sana,' tuturnya. Pemandangan serupa terlihat saat menuju Pulau Tidore. Sriti beterbangan, tapi tidak ditemukan satu pun burung walet.

Sarang gua

Setelah bermalam di Ternate, perjalanan dilanjutkan menuju Halmahera menggunakan speed boat 40 PK. Sejam berlayar tibalah Boedi di Payahe. Dari sana alumnus Biologi di Universiteit Hamburg Jerman itu melanjutkan perjalanan ke Sidagoli sampai Jailolo. Sepanjang perjalanan Boedi melihat puluhan sriti terbang mencari pakan.

'Di sana ukuran sriti lebih besar dan gempal daripada saudaranya di Pulau Jawa,' kata pelindung dari pengelolaan Hutan Harapan di Jambi itu. Sekilas tubuh bongsor itu menyerupai walet. Harap mafhum, ukuran tubuh sriti hanya 10% lebih kecil dari walet. Di Pulau Jawa perbedaan itu sangat mencolok, mencapai 30%. Tak hanya itu, warna bulu sriti di sana lebih gelap. 'Bulu putih di dada yang menjadi penanda sriti tak terlihat secara kasat mata,' tutur Boedi.

Kehadiran walet di tanah Halmahera sangat mungkin. Musababnya, iklim di pulau itu cocok untuk walet. Suhu berkisar 28°C dan kelembapan 80-90%, misalnya. Selain itu 'Dari selatan sampai utara Halmahera terdapat bukit yang hutannya alami dan pohon-pohon kelapa di pinggir pantai,' tambah Boedi yang terbang dengan helikopter untuk melihat kondisi lingkungan Halmahera dari udara. Dengan kondisi itu dapat dipastikan: serangga, sumber pakan walet, melimpah.

Keyakinan Boedi terjawab setelah Basri Amal, sekretaris daerah (Sekda) Halmahera Tengah yang bertemu rombongan, menyebut kan Halmahera punya 2 sentra penghasil sarang walet: Loloda dan Wasile. 'Loloda yang terbesar,' ujar Basri. Sarang berasal dari gua-gua. Sayangnya, belum ada data volume produksi. Namun, berdasarkan pengamatan Basri produksi sarang bisa mencapai 200 kg/tahun.

Kualitas sarang yang dihasilkan tak jauh berbeda dengan sarang walet rumahan asal Pantura dan Sumatera. 'Tebal dan berbentuk mangkuk,' kata Basri. Penampilan sarang seperti itu terjadi karena musim hujan di Halmahera sangat panjang, rata-rata 10 bulan per tahun. Itu artinya walet tak perlu terbang jauh untuk mendapatkan serangga yang berkembangbiak di musim penghujan. Imbasnya energi yang ada lebih banyak dipakai untuk memproduksi liur.

Potensial

Lantaran berada di Indonesia Timur, kemungkinan besar tingkat keberhasilan putar telur di Halmahera sama seperti di Sulawesi Utara yang mencapai lebih dari 50%. Itu artinya bila 10.000 telur sriti ditukar dengan telur walet akan ada lebih dari 5.000 walet. Di Pulau Jawa hampir semua telur yang ditukar menetas, tapi yang kembali untuk bersarang hanya 10%.

Meski begitu bukan perkara mudah membuat walet berkembang di lokasi ini. Harap mafhum, banyak jalan antarkota dan daerah yang belum dibenahi sehingga akses menuju lokasi sangat sulit. Menurut Boedi bila kendala itu teratasi Halmahera potensial menjadi sentra walet di timur Indonesia. 'Semoga banyak investor yang melirik ke sana,' harap Boedi yang menutup perjalanan dengan melihat burung-burung endemik di Wedabe. (Lastioro Anmi Tambunan)

Sabtu, 16 Agustus 2008

Perilaku Seks Burung Walet

Musim kawin burung walet terjadi disaat musim hujan tiba dikarenakan ketersediaan pakan walet yaitu serangga sangat banyak dan berlimpah sehingga anak burung walet akan terjamin kelangsungan hidupnya. Walaupun koloni burung walet tinggal di rumah burung waet tetapi burung walet tidak akan melangsungkan perkawinan dengan saudaranya sendiri, karena kalau hal tersebut terjadi maka kualitas anakan tidak bagus bahkan terjadi cacat. Dengan demikian maka burung walet akan mencari pasangannya dari rumah burung walet yang lain atau yang tidak satu turunan dengannya. Perkawinan di udara Pada saat masa perkawinan tiba burung walet biasa melakukan perkawinan di atas udara. Salah satu dari sepasang burung ini terbang di depan lawan jenisnya dan tiba-tiba menahan sayapnya membentuk sudut besar horizontal atau bahkan vertical. Burung ini akan meluncur turun ke depan sedangkan burung yang dibelakang mengejarnya. Kemudian sepasang burung ini akan terbang normal dengan posisi terbang pejantan di atas dan betina terbang agak dibawah. Kemudian burung jantan langsung hinggap di punggung burung walet betina tersebut dan sepasang burung ini pun terbang meluncur turun dengan sudut kecil. Burung betina merentangkan sayapnya secara horizontal dan burung jantan merentangkan sayapnya secara vertical membentuk sudut. Sepasang burung ini akan membentangkan sayap dan ekornya selama terjadi perkawianan. Jika ketinggian terbang rendah salah satu burung ini akan sedikit mengepakan sayapnya setelah beberapa detik mereka kembali berpisah. Perkawinan di sarang Perkawinan di sarang dilakukan pada malam hari. Sang betina memanggil burung walet jantan dengan suara cicitannya, setelah mendengar suara walet betina yang berahi, burung walet jantan akan menuju ke tempat burung walet betina dan hinggap di punggung betina. Pasangan burung walet ini kemudian merenggangkan sayapnya dan terjadilah perkawinan. Proses perkawinan di sarang ini akan berlangsung beberapa kali dalam semalam.

Papua Surga bagi Satwa

Papua, 'Surga' bagi Satwa
Papua, INDONESIA -- juga Papua -- kaya dengan keanekaragaman hayati dan hewani. Tidak dapat terhitung banyaknya margasatwa di Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.

Seperti hewan-hewan di Indonesia bagian barat yang mempunyai ciri khas tersendiri, jenis hewan-hewan yang berada di Indonesia bagian timur juga merupakan bagian yang memiliki ciri khas tertentu, sehingga ada yang tidak dapat kita temui di bagian barat Indonesia.

Di Papua, satwa-satwa di daerah ini punya keunikan tersendiri. Burung cendrawasih merupakan salah satu jenis burung yang beberapa nama ilmiahnya berarti 'dari surga', 'agung', 'indah', dan 'sangat bagus'.

Ia juga disebut sebagai bidadari tak berkaki atau Apoda, dalam bahasa Latin burung cendrawasih digambarkan sebagai besar (paradisaea apoda). Burung yang sangat cantik tetapi tidak punya kaki dipercaya bukan berasal dari bumi karena mereka berjalan atau bertengger di pohon.

Tiga puluh jenis cendrawasih terdapat di Indonesia, 28 di antaranya ditemukan di Papua yang merupakan tempat tinggal cendrawasih berpial paradigalla carunculata, cendrawasih ekor panjang astrapia nigra, cendrawasih paratia parotia sefilata, cendrawasih Wilson cicinnurus respublica, dan cendrawasih merah paradiasea rubra.

Terdapat juga keragaman lain dari cendrawasih yang persebarannya terbatas hanya di Papua dan Nugini, yaitu cendrawasih ragiana, cendrawasih superb, cendrawasih magnificent, cendrawasih 'dua belas kawat', cendrawasih raja dan cendrawasih biru Nugini.

Sedangkan cendrawasih raja, cendrawasih botak, cendrawasih merah, toowa, dan cendrawasih kecil ekor kuning telah masuk dalam daftar jenis satwa yang dilindungi berdasarkan UU No 5 Tahun 1990 dan PP RI No 7 Tahun 1999.

Hutan di Papua seperti Aru dan Yapen merupakan habitat untuk si burung besar yang tidak dapat terbang: Kasuari. Di Australia tinggi burung ini bisa mencapai 180 cm dan berat 60 kg. sarangnya berada di bagian rendah dari hutan. Telurnya berwarna kehijauan dan berjumlah 3-5 butir. Lama pengeraman dapat mencapai 50 hari dan burung jantan yang melakukan tugas ini.

Jenis yang dilindungi adalah kasuari gelambir tunggal yang berada di bagian utara Papua. Jenis burung lainnya yang berada di kawasan Papua, yaitu kasuari raja psittrichas fulgidus. bentuk tubuhnya perpaduan antara burung nuri dengan gagak. Kepalanya menyerupai elang. Paruh dan ekor hitam, sedangkan sayap dan tunggingnya berwarna merah.

Papua merupakan rumah bagi sebagian besar hewan yang tidak dapat ditemukan di kawasan barat Indonesia. Di antaranya wallaby agile (macropus agilis), kanguru pohon wakera (denrolagus inustus), cendrawasih (ptiloris magnificus), kakatua raja (probosciger atterimus), dan kadal berjumbai (chlamydosaurus kingii).

Kadal merupakan jenis reptil yang cukup dikenal di Indonesia. Ada sekitar 300 jenis kadal di Indonesia dan 150 jenis di antaranya terdapat di Papua. Bentuk kadal di Indonesia cukup beragam, di antaranya yang berada di Papua adalah jenis D novaeguineae.

Untuk jenis biawak, keragaman yang paling tinggi juga berada di Papua, bahkan yang terpanjang sekitar 3 meter. Biawak salvadori (varanus salvadori) juga ada di sini. Soa Payung (chlamydoasurus kingii) berada di Papua bagian selatan.

Soa payung memiliki ciri punya lipatan tipis di leher, ditunjang oleh dua batang tulang, yang digunakan untuk mengancam mangsa. Kulit dekat kepalanya dapat mengembang untuk menakuti mangsanya.

Kupu-kupu masuk ke dalam jenis serangga lepidoptera yang berarti "sayap bersisik". Sejak tahun 1980-an Indonesia sudah melindungi kupu-kupu sayap burung yang beberapa jenis lain yang kurang menarik.

Siput dan keong masuk ke dalam kelas gastropoda Di Papua, siput berada di daerah Lembah Baliem, tepatnya di gua-gua Lembah Baliem dan daerah batu kapur. Siput berwarna-warni merupakan salah satu contoh yang banyak ditemukan di Papua.

Sanca hijau Irian (morelia viridis) merupakan jenis ular berwarna hijau yang hidup di hutan tropis Papua. Papua juga merupakan habitat untuk hewan-hewan yang hidup di dua alam, seperti kura-kura Irian yang habitatnya berada di sungai-sungai besar di Papua selatan, penyu hijau (chelonia mydas) dan buaya Irian (crocodylus novaeguineae) yang hidup di muara sungai sampai ke pedalaman di Papua sebelah utara. Papua benar-benar kaya. (Golda/S-5)

(sumber: media indonesia)

Selasa, 05 Agustus 2008

Landasan Sarang dari Styrofoam

Berdasarkan pengalaman saya  landasan sarang dari styrofoam ukuran lebar 2 cm , panjang 8 cm dengan ketebalan 2 cm yang diolesi dengan aroma P (untuk nesting plank)  kemudian dipasangkan di nesting plank, dalam waktu kurang dari 4 bulan, landasan sarang tersebut sudah dilapisi oleh liur burung walet.

Landasan sarang dari styrofoam ini mampu meningkatkan populasi burung walet 30 - 50% setahun. Landasan sarang ini berguna sebagai penopang sarang saja, sehingga sarang yang dihasilkan penuh dan besar, tidak seperti sarang imitasi plastik yang hanya sedikt diolesi liur oleh burung walet lalu digunakan untuk bertelur. 

Landasan sarang dari styrofoam ini memaksa dan memicu burung walet untuk membuat sarang secara utuh, karena styrofoam ini tidak dapat digunakan untuk meletakkan telur, oleh karena itu fungsi styrofoam ini akan meningkatkan produksi sarang.

Selain meningkatkan produksi sarang, styrofoam juga menambah populasi si liur emas putih. Populasi walet dan sarang meningkat setelah 2 kali tetasan. Panen dilakukan 8 bulan setelah tetasan terakhir itu. Pada periode pertama tetasan, anak walet menempati sarang yang dibuat induk sehingga sarang diisi 4 walet: induk jantan, betina, dan 2 anak hasil tetasan.

Supaya anakan burung walet tidak menggunakan sarang induknya sebagai tempat berdiam, landasan sarang yang telah diolesi dengan aroma P ini ditempel di dekat sarang induk, yaitu sekitar 10 cm dari sarang induk
Pada saat anakan burung walet matang gonad, yaitu berumur sekitar 9 bulan, maka anakan ini akan mampu membuat sarang di landasan sarang styrofoam.

Supaya anakan tidak kabur, sebaiknya sarang yang ada di landasan sarang dipanen  setelah melewati 2 kali tetasan. Bila 1 kali tetasan sarang induk sudah diambil, dikhawatirkan walet muda yang sedang belajar terbang atau mencengkeram tidak bisa mengenali sarang induknya dan dapat berakibat anakan burung walet akan mudah kabur sehingga populasi tidak meningkat.
Landasan sarang styrofoam dapat rusak dan berlubang, karena anakan burung walet sering mematuk-matuk styrofoam tersebut dan membentuk lengkungan. Oleh karena itu sebaiknya gunakan styrofoam yang lebih tebal, minimal 2 cm.

Rumah Burung Walet di Dataran Tinggi

Pada kebanyakan orang berkecenderungan membuat rumah burung walet di daerah yang ketinggiannya kurang dari 400 meter di atas permukaan laut (dpl). Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa mikro klimat rumah burung walet yang ideal adalah berkisar suhu udara antara 26 - 29 derajat Celcius dan kelembaban antara 80 sampai dengan 95%, sehingga lokasi yang ideal untuk rumah burung walet adalah di dataran rendah sampai dengan 400 meter dpl. 

Pada daerah dataran tinggi, misalnya  600 meter dpl, suhu udara luar berkisar antara 16 sampai dengan 22 derajat Celcius, dengan kelembaban udara antara 60% sampai dengan 70%. Melihat kondisi ini, maka daerah dataran tinggi (di atas 400 meter dpl) tidak ideal bagi perkembangan burung walet. Namun, seperti di Benteng Pendem, Ambarawa, Jawa Tengah, yang dihuni burung walet, terletak di 600 meter dpl setiap panennya menghasilkan sarang burung walet +/- 40 kg, hal ini disebabkan karena dinding Benteng Pendem ini tebalnya 80 cm sehingga suhu udara di dalam Benteng Pendem ini lebih hangat dibandingkan suhu udara luar.

Membudidayakan burung walet di dataran tinggi mempunyai keuntungan, karena di dataran tinggi masih banyak lahan pertanian dan perkebunan sehingga serangga yang merupakan pakan burung walet  lebih banyak tersedia. Dengan tersedianya pakan tersebut, maka burung walet tidak perlu terbang jauh untuk mencari makan. 

Suhu dan Kelembapan

Kendala yang dihadapi dalam membudidayakan burung walet di dataran tinggi adalah suhu dan kelembapan udara. Suhu dan kelembapan yang rendah membuat perkembangbiakan burung walet lebih lambat. Kelembapan udara dapat ditingkatkan dengan membuat kolam yang diisi air. Air di kolam ini selain berfungsi untuk meningkatkan kelembapan udara, juga berfungsi sebagai stabilisator suhu udara dan menjaga agar kelembaban udara relatif stabil.

Agar suhu udara di dalam rumah burung walet relatif stabil, maka RBW di dataran tinggi sebaiknya tidak banyak lubang ventilasi udara. Untuk setiap ukuran 4 m x 4 m, cukup 1 lubang ventilasi udara atas dan tidak diperlukan lubang ventilasi bawah. 

Dan perlu diketahui bahwa suhu udara dan kelembapan udara tidak hanya berkaitan dengan kualitas sarang walet tetapi juga berkaitan dengan daya tetas telur. Suhu dan kelembapan udara yang rendah akan mengurangi daya tetas telur. Oleh karena itu, di datran tinggi perkembangbiakan burung walet akan lebih pesat di musim kemarau dibandingkan di musim hujan, untuk itu pola panen rampasan yang biasanya dilalukan pada atau menjelang musim kemarau di dataran rendah tidak dapat diterapkan begitu saja di dataran rendah.  

Yang menjadi permasalahan, di dataran tinggi populasi walet masih sedikit, yang banyak justru burung sriti. Bila di RBW sudah ada burung sriti maka, harus dilakukan putar telur dan pergunakan suara walet agar burung walet tetasan tetap kembali ke RBW kita  dan yang penting mikro klimat yaitu suhu dan kelembapan udara dibuat semirip mungkin dengan habitat burung walet. Selain itu ketersediaan pakan juga merupakan salah satu kunci agar burung walet betah tinggal di dataran tinggi yang dingin dan kering. 


Konsep Dasar yang Tepat untuk Pembuatan Rumah Walet

Konsep Dasar yang Tepat untuk Pembuatan Rumah Walet

Oleh Newsroom
Senin, 06 Agustus 2007
Namun sayangnya, pembangunan rumah walet yang kian menjamur tidak dibarengi dengan produktivitas walet yang tinggi. Banyak faktor yang bisa menyebabkan hal itu terjadi. Misalnya, kekurangpahaman para pembudidaya walet dalam memperhitungkan konsep dasar pembuatan rumah walet.
Mengatasi Rumah Walet KosongPada dasarnya, memang tidak mudah memikat walet masuk ke rumah baru. Salah seorang pembudidaya walet mengakui rumah waletnya sudah lima tahun tidak berpenghuni, alias kosong dari walet. Padahal, habitat mikro rumah tersebut sudah memadai. Berbagai perlengkapan penunjangnya pun telah dioperasikan dengan baik. Setelah diteliti ternyata permasalahannya berasal dari kesalahan penempatan rekaman suara untuk memancing walet.
Salah satu cara yang paling efektif untuk mengatasi kondisi tersebut adalah dengan melakukan pemasangan tweeter di tempat yang tepat. Tweeter adalah speaker yang bekerja pada frekuensi tinggi. Umumnya, di rumah walet terdapat dua sumber suara, yakni berasal dari external sound dan internal sound. External sound biasanya ditempatkan di atas bumbung (wuwungan) dan di lubang masuk burung. Sementara itu, internal sound biasanya ditempatkan pada roving room dan nesting plank.
Untuk memanggil walet yang berada di kejauhan dapat menggunakan super external caller atau hexagonal tweeter. Hexagonal tweeter ini terdiri atas enam tweeter. Dengan demikian, suara yang keluar akan sangat keras, sehingga burung-burung walet yang sedang terbang di kejauhan dapat mendengarnya. Penggunaan hexagonal tweeter ini sangat efektif untuk memanggil hingga radius 500 m.
Sebaiknya semua tweeter menghadap ke arah lubang masuk burung. Dengan demikian, walet yang telah masuk ke dalam ruangan dapat mencari sumber suara dan menjelelajahi seluruh ruangan. Perlu diketahui pula, kesalahan dalam penataan tweeter justru akan mengakibatkan walet hanya keluar masuk tanpa menginap di ruangan atau rumah walet.
Lubang Masuk BurungLubang masuk burung memang merupakan salah satu faktor penting dalam membuat rumah walet. Karena melalui lubang masuk tersebut walet bisa mengetahui dan menempati rumahnya yang baru.
Hal pertama yang harus diperhatikan dalam membuat lubang masuk walet adalah mengetahui arus terbangnya. Pasalnya, walet memiliki sifat yang unik dan khusus, yakni hidup secara berkoloni dan terbang ke satu arah yang tetap. Oleh karena itu, jika ruangan walet tidak ditata sesuai dengan arus putar atau arus terbang walet, populasinya tidak akan maksimal.
Lantas, bagaimana penempatan lubang masuk walet yang tepat? Jika rumah walet Anda berukuran lebar delapan meter dan roving area berukuran minimum 4 x 8 meter, lubang masuk burung dapat ditempatkan di tengah dengan jarak dari plafon 40 cm. Sebaiknya, jarak lubang masuk dari plafon tidak melebihi 40 cm apabila nesting plank atau tempat bersarang lebarnya hanya 20 cm. Hal ini dimaksudkan agar cahaya yang masuk melalui lubang masuk walet tidak banyak membias ke nesting plank.
Ukuran lubang masuk walet dapat disesuaikan dengan populasi walet yang ada di rumah tersebut. Untuk rumah yang baru, disarankan lubang masuknya minimum berukuran 40 x 60 cm. Lubang masuk yang paling efektif untuk memikat walet adalah menghadap ke arah jalan pulang walet.
Namun, jika di rumah walet tersebut terdapat rumah walet lainnya yang telah berhasil membudidayakan walet, sebaiknya arah lubang masuk walet dibuat meniru rumah walet sebelumnya.
Kiat mengatasi rumah walet kosong ini diungkapkan A. Hendri Mulia, SE., CMA dalam buku Strategi Jitu Memikat Walet yang diterbitkan oleh AgroMedia Pustaka. Melalui buku ini, Hendri juga mengungkapkan cara membuat seluruh ruangan dihuni walet, tip memacu walet membuat sarang, dan teknik memikat walet dengan suara tiruan.

Kemarau Datang Bobot Sarang Meningkat

Kemarau Datang Bobot Sarang Meningkat
Oleh trubus
Selasa, April 10, 2007 14:21:28



Anggapan bobot sarang turun pada musim kemarau tak berlaku di Sedayu, Gresik, Jawa Timur. Di sana bobot sarang malah naik ketimbang musim hujan. Itu terlihat dari 8 bulan pengamatan terhadap 25 sarang walet di rumah walet model piggy back. Empat bulan musim kemarau, Mei-September, bobot rata-rata 10,7882 g/sarang. Padahal musim hujan hanya 8,9085 g/sarang.

Uji bobot dengan menggunakan timbangan analitik Denver tipe AA-250 dengan ketelitian 4 digit di laboratorium Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu sungguh di luar dugaan. Selama ini bobot sarang selalu lebih rendah saat musim kemarau. Suhu dan kelembapan sangat memegang peranan.

Dari penelitian didapat 88% walet setia menempati tempat asal bersarang di rumah walet 5 lantai setinggi 14 m yang dipakai tempat uji coba. Bangunan bercat putih itu dilengkapi lubang walet berukuran 100 cm x 30 cm, normalnya 40 cm x 14 cm agar walet mudah masuk. Suhu ruangan berkisar 25-27oC terasa sejuk karena ventilasi cukup banyak.

Agar kelembapan terjaga pada kisaran 95-98%, di setiap lantai yang memiliki 6-9 kamar ditaruh 2-3 kolam berisi air. Luasan kolam 3 m x 3 m dan kedalaman 30 cm. Pada musim hujan jumlah kolam dikurangi sehingga ruangan tidak terlalu lembap. Kelembapan di atas 98% dapat membuat sarang berubah warna menjadi abu-abu.
Dekat pakan

Selain lingkungan dalam rumah walet, lokasi rumah turut andil menaikkan bobot sarang. Bangunan dekat sumber pakan menjadi pilihan pas. Bangunan yang diamati penulis dikelilingi rawa dan berada 7 km dari pantai utara Jawa. Duapuluh kilometer dari tempat itu tampak jejeran hutan jati. Sungai Bengawan Solo membentang di sebelah selatan lokasi. Itulah lintasan walet saat terbang mencari serangga yang memang menyukai daerah lembap dan berair.

Memang pada musim penghujan produksi pakan melimpah. Namun, pada musim itu walet tergesa-gesa membuat sarang agar cepat bertelur. Hasilnya, bobot sarang lebih ringan dan tipis. Berbeda pada musim kemarau. Meski kecenderungan sumber pakan berkurang, tapi walet tetap aktif memproduksi liur. Itu karena persaingan memperoleh pakan berkurang. Maklum sebanyak 12% walet muda biasanya pergi mencari pakan ke tempat lain.

Saat faktor-faktor seperti suhu, kelembapan, dan kedekatan dengan sumber pakan terpenuhi, walet akan setia dan rajin membuat sarang. Oleh karena itu pada musim kemarau tak ada hambatan bagi walet untuk tinggal dan mencari pakan. Hasilnya bobot sarang terjaga.

Serangga Perbanyak Liur

Kelembapan Perbanyak Liur
Oleh trubus
Selasa, April 10, 2007 14:22:47 Klik: 923

Kemarau datang, serangga pun berkurang. Itulah yang terjadi di daerah penyebaran walet. Penyebabnya hanya satu: kelembapan turun. Menurut Stefanus Yoki, praktikus walet itu Purwokerto, Jawa Tengah, serangga yang menjadi sumber pakan utama si liur emas itu menyukai daerah lembap dan berair. Contohnya tempat sampah dan aliran sungai. Berkurangnya pakan menyebabkan walet harus terbang ke tempat lain. 'Jarak terbang bisa 40-50 km,' ujarnya.

Setelah mendapatkan pakan, keluarga Collocalia fuchipaga yang terkenal setia itu akan kembali ke rumah asal. Namun, jauhnya jarak tempuh membuat walet kehabisan energi untuk mengeluarkan liur. Imbasnya sarang pun menjadi kecil dan bobotnya ringan.

Hal senada juga diungkapkan Hary K. Nugroho, praktikus walet di Jakarta Utara. Menurutnya serangga yang kaya protein mampu memicu walet untuk memproduksi liur lebih banyak, sehingga sarang cepat terbentuk. Idealnya sarang terbentuk selama 45 hari. 'Saat pakan melimpah sarang terbentuk dalam 38 hari,' ujar pemilik Eka Walet Center itu.

Ketika pakan berkurang, produksi liur pun sedikit. Akibatnya saat sarang masih berukuran 3 jari, walet sudah bertelur. Dampak lain, sarang yang dihasilkan menjadi tipis dan berbulu, di bawah bobot ideal, 8 g/sarang. Namun, saat kelembapan stabil, niscaya populasi serangga terjaga. Walet pun leluasa memperoleh amunisi untuk membuat sarang. (Lastioro Anmi Tambunan)

Serangga Perbanyak Liur

Kelembapan Perbanyak Liur
Oleh trubus
Selasa, April 10, 2007 14:22:47 Klik: 923

Kemarau datang, serangga pun berkurang. Itulah yang terjadi di daerah penyebaran walet. Penyebabnya hanya satu: kelembapan turun. Menurut Stefanus Yoki, praktikus walet itu Purwokerto, Jawa Tengah, serangga yang menjadi sumber pakan utama si liur emas itu menyukai daerah lembap dan berair. Contohnya tempat sampah dan aliran sungai. Berkurangnya pakan menyebabkan walet harus terbang ke tempat lain. 'Jarak terbang bisa 40-50 km,' ujarnya.

Setelah mendapatkan pakan, keluarga Collocalia fuchipaga yang terkenal setia itu akan kembali ke rumah asal. Namun, jauhnya jarak tempuh membuat walet kehabisan energi untuk mengeluarkan liur. Imbasnya sarang pun menjadi kecil dan bobotnya ringan.

Hal senada juga diungkapkan Hary K. Nugroho, praktikus walet di Jakarta Utara. Menurutnya serangga yang kaya protein mampu memicu walet untuk memproduksi liur lebih banyak, sehingga sarang cepat terbentuk. Idealnya sarang terbentuk selama 45 hari. 'Saat pakan melimpah sarang terbentuk dalam 38 hari,' ujar pemilik Eka Walet Center itu.

Ketika pakan berkurang, produksi liur pun sedikit. Akibatnya saat sarang masih berukuran 3 jari, walet sudah bertelur. Dampak lain, sarang yang dihasilkan menjadi tipis dan berbulu, di bawah bobot ideal, 8 g/sarang. Namun, saat kelembapan stabil, niscaya populasi serangga terjaga. Walet pun leluasa memperoleh amunisi untuk membuat sarang. (Lastioro Anmi Tambunan)

Prediksi Peningkatan Sarang

Seri Walet (123):
Prediksi Peningkatan Sarang
Oleh trubus
Selasa, September 04, 2007 02:41:56


Rumus statistik untuk mengetahui jumlah penduduk pada kurun waktu tertentu ternyata dapat diterapkan pada walet. Itu dilakukan Ubaidillah Thohir di Sidayu, Gresik, Jawa Timur. Melalui penelitian selama 3 tahun, kenaikan jumlah sarang dapat diprediksi.

Selama ini kenaikan jumlah sarang walet dihitung berdasarkan pengalaman empiris peternak. Pertambahan sarang sebesar 25% per tahun dianggap bagus untuk sebuah rumah walet. Artinya jika rumah walet itu semula berisi 10 sarang, tahun depan dapat diperkirakan jumlahnya meningkat mencapai 12-13 sarang. Persentase kenaikan sebesar itu lazim terjadi di lokasi-lokasi rumah walet yang memiliki sumber pakan melimpah. Seandainya sumber pakan tak mendukung, kenaikan populasi sarang sekitar 10%, bahkan bisa jadi lebih kecil lagi.

Sidayu yang dipakai Ubaidillah Thohir sebagai lokasi percobaan, menjadi sentra walet sejak zaman penjajahan Belanda. Dahulu di sekitar rumah walet terdapat banyak hutan sebagai sumber pakan walet, sehingga penambahan populasi lebih dari 25% per tahun. Namun, kini sejalan dengan maraknya penebangan liar dan pergantian musim yang tak menentu, laju pertumbuhan sarang terus menurun, bahkan negatif. Padahal, populasi rumah walet di Sidayu terus meningkat.
Laju pertumbuhan

Menurut Ubaidillah untuk memprediksi pertambahan sarang walet bisa menggunakan rumus sensus jumlah penduduk. Ada 3 parameter yang dipakai: jumlah awal sarang (simbol Po), tahun peningkatan yang dikehendaki (simbol n), dan laju pertambahan sarang (simbol r). Secara umum rumus itu adalah 1 ditambah r dipangkatkan n. Hasilnya kemudian dikalikan angka Po untuk memprediksi jumlah pertambahan sarang (Simbol Pp).

Besarnya nilai r dipengaruhi antara lain oleh kematian dan kelahiran walet, serta kemampuan tumbuh hingga dewasa yang berkisar 80%. Namun, sekarang persentase kematian bisa lebih banyak karena sumber pakan banyak yang tercemar pestisida, kata Ubaidillah. Akibatnya, banyak cangkang telur tipis dan mudah pecah, sehingga tak membuahkan anak.

Faktor lain yang mempengaruhi nilai r adalah sumber pakan yang menipis. Hal itu memaksa walet terbang lebih jauh mencari pakan. Bahkan seringkali walet pindah ke rumah lain yang lebih dekat sumber pakan untuk menghemat energi saat perjalanan pulang dari perburuan. Dari pengamatan alumnus Universitas Muhammadiyah Malang itu sejak 1980 di Sidayu, nilai r berkisar 0,25-0,6. Artinya laju kenaikan penambahan sarang di suatu rumah rata-rata berkisar 25-60% per tahun. Tapi kenyataannya saat sekarang mencapai kenaikan 30% saja sudah sangat sulit, tambahnya.

Contoh perhitungan, awal di tempat pengamatan 10 keping. Nilai r yang digunakan 0,25. Berapa penambahan pada tahun pertama? Perhitungannya, 0,25 ditambah 1 lalu dipangkatkan 1. Setelah itu dikalikan jumlah sarang awal, 10 sarang. Hasil akhir diperoleh 12,5 sarang, dibulatkan menjadi 13 sarang. Dengan perhitungan sama pada tahun kedua, akan diperoleh jumlah 16 sarang.
Tergantung pakan

Menurut Philip Yamin, konsultan walet di Cengkareng, Jakarta Barat, cara yang ditempuh Ubaidillah itu bisa digunakan. Tapi karakteristik setiap daerah berbeda sehingga nilai laju pertumbuhan berbeda dengan di Sidayu, ujarnya. Karena sulitnya menentukan laju pertumbuhan (r)-perlu pengamatan lama supaya akurat-Philip memilih menghitung secara manual.

Caranya, hitung jumlah sarang walet yang ada di sebuah rumah, misal 5.000 keping. Sarang-sarang itu masing-masing ditempati oleh sepasang induk. Sepasang induk mampu berbiak 2 kali dalam setahun. Andai tingkat keberhasilan penetasan 80% maka ada sekitar 16.000 anak walet yang dihasilkan dalam setahun. Dari jumlah itu anak walet yang kembali ke rumah hanya 20%. Artinya tahun depan ada penambahan sebanyak 1.600 sarang. Penambahan sebanyak itu menurut Philip berlaku untuk daerah-daerah pengembangan.

Di daerah-daerah padat rumah walet seperti Sumatera Utara dan Pulau Jawa, berdasarkan pengalaman Philip selama puluhan tahun, hanya 10% walet akan kembali ke rumah asal. Sisanya bisa hinggap ke rumah lain dan migrasi ke daerah yang kaya pakan, katanya. Itu artinya, sebanyak 8.000 walet yang akan kembali ke tempat semula dan membuat sarang.

Boedi Mranata, praktisi walet di Jakarta, menggarisbawahi perlunya menjaga lingkungan agar laju pertumbuhan sarang terus meningkat. Ia menggambarkan untuk 1.000 walet setiap harinya butuh 6-7 kg pakan. Jika kebutuhan pakan tercukupi, walet bisa 3-4 kali membuat sarang dalam setahun. Akibatnya, tanpa ada penambahan populasi walet baru, jumlah produksi sarang menjadi 1,5-2 kali lipat. (Lastioro Anmi Tambunan)

Senin, 04 Agustus 2008

Ramuan Baru Pemikat Walet

Seri Walet (127):
Ramuan Baru Pemikat Walet
Oleh trubuson
Minggu, Januari 06, 2008 03:36:19 Kirim-kirim Print version

Selama 2 tahun rumah walet di Mojokerto, Jawa Timur, itu kosong melompong. Padahal, persyaratan lingkungan makro dan mikro-kelembapan, suhu, pencahayaan-dipenuhi. 'Sudah dipancing pakai air bekas cucian sarang, tapi nihil,' ujar BM Wawan. Namun, baru seminggu memakai ramuan pemikat walet dengan campuran rumput laut, suara cericit si liur emas itu mulai terdengar di dalam rumah.

Air cucian sarang hanya satu dari sekian cara yang pernah diupayakan BM Wawan untuk memikat walet. Pengusaha kelontong di Surabaya itu pernah pula mengoleskan telur bebek ke dinding. Bahkan menebar air kotoran walet ke lantai rumah walet. 'Itu sudah dikombinasi dengan CD player untuk mengundang walet,' ujarnya. Namun, segala upaya itu belum menuai hasil.

Titik terang muncul setelah Wawan menggunakan ramuan campuran sarang walet dan rumput laut. Kombinasi bau amis keduanya mujarab memancing walet masuk. Tak perlu disemprotkan ke dinding, ramuan itu hanya dioleskan memakai kuas pada lagur. 'Seminggu setelah dioleskan ada walet yang masuk,' katanya. Bahkan saat dicoba pada bangunan walet lain miliknya, walet masuk dalam tempo 3 hari.

Rumput laut

Menurut Agung Santoso, peternak di Mojokerto, rumput laut dapat menghasilkan bau amis yang tidak membuat walet pergi. 'Bau amisnya tidak keras, tapi bisa tahan lama sampai berbulan-bulan karena menyerap di pori-pori kayu,' kata Agung yang sudah meneliti formula itu sejak 1995. Begitu aroma amis di lagur hilang, walet tetap bertahan di sarangnya.

Sarang walet dan rumput laut memang bahan baku utama ramuan itu. Sekitar 100 g sarang dicuci bersih sebanyak 3 kali selanjutnya sarang itu direndam air selama semalam. Sarang kemudian dihancurkan hingga lembut dengan blender. Selanjutnya tambahkan 50 g rumput laut dan campuran itu direndam air sebanyak 5 liter.

'Perendaman dilakukan selama kira-kira sebulan,' ujar pengusaha yang sukses menernakkan walet itu. Hasil terbaik bila didapat air rendaman menjadi keruh dan berwarna kekuningan. Bau amisnya tercium lembut. Air rendaman itu kemudian disaring untuk membuang ampas sarang dan rumput laut. 'Yang dipakai hanya air rendaman saja,' katanya.

Cairan pemikat walet itu harus segera dioleskan pada lagur. Musababnya bila didiamkan terlalu lama, lebih dari 2 minggu, bau amisnya berubah, tidak tercium segar. 'Ini dapat terjadi pula bila perendaman dilakukan sampai 2 bulan,' ujar Agung. Bila cairan itu dipaksa untuk digunakan, walet tidak akan terpikat. Untuk itu perlu takaran yang pas agar ramuan tidak terbuang percuma. Dari pengalaman Agung cairan pemikat sebanyak 5 liter cukup untuk dioleskan pada 2 rumah walet berukuran 10 m x 20 m.

Pemakaian sarang utuh untuk bahan campuran memang mahal. Untuk itu Agung menyarankan sarang remukan yang harganya Rp1-juta-Rp1,5-juta/kg 'Bisa juga dipakai sarang sriti,' kata Agung. Rumput laut dapat dibeli di pasar tradisional. Harganya cukup murah sekitar Rp60.000-Rp70.000/kg.

Tenang

Ramuan pemikat walet sebetulnya mudah ditemui di pasaran. Namun, tidak semua ramuan itu efektif menjerat walet untuk masuk. Selain sarang sebagai bahan utama, campuran lain yang dipakai adalah kombinasi air kotoran walet dan minyak ikan. Itu yang dilakukan oleh Ade H. Yamani di Karawang. Namun, cairan pemikat itu harus disemprotkan ke seluruh permukaan dinding agar bekerja efektif.

Menurut Hary K Nugroho memancing walet memang gampang-gampang susah. 'Tanpa dipancing walet dapat datang asalkan kondisi lingkungan rumah walet tenang,' ujar pemilik Eka Walet Center di Kelapagading, Jakarta Utara, itu. Tenang berarti jauh dari hiruk-pikuk kegiatan manusia. Itu pula yang terjadi pada walet-walet yang menetap di gua tepi pantai.

Pendapat senada disampaikan Agung. 'Hasilnya akan lebih bagus jika lingkungan tidak ada gangguan,' katanya. Apalagi jika peternak memperhatikan arah masuk dan keluar burung. 'Posisi lubang keluar dan masuk harus searah terbang walet,' ujar Agung. Harap mahfhum itu akan membuat walet merasa aman sehingga saat cairan pemikat dioleskan, Collocalia fuciphaga itu lekas masuk. (A. Arie Raharjo)

Oper Bola Pancing Walet Bersarang

Seri walet (129): Oper Bola Pancing Walet Bersarang
Oleh trubus
Senin, Maret 03, 2008 11:31:14 Kirim-kirim Print version

Sudah 3 tahun rumah walet Afong di Kecamatan Siantan, Kabupatan Pontianak, Kalimantan Barat, kosong dari cericit walet. Jangankan untuk bersarang, singgah pun Collocalia fuciphaga itu tidak mau. Namun sejak rumah walet itu dipasang tweeter sistem oper bola selama 8 bulan, ada 200 sarang walet di sana.

Sulitnya si liur emas untuk bersarang di bangunan walet milik pengusaha emas itu kontras dengan lingkungan sekitarnya. Lokasi tempat bangunan itu berada kondang sebagai kompleks walet. 'Di sini ada sekitar 100 rumah walet,' ujar Afong. Mayoritas rumah-rumah itu sudah banyak dihuni walet. Namun, 'Di tempat saya walet-walet itu hanya keluar masuk,' tambahnya. Padahal perangkat pendukung untuk memancing walet antara lain cd walet dan tweeter sudah dipasang.

Nasib baik mulai berpihak setelah bangunan itu dikunjungi seorang konsultan walet dari Jakarta Barat. Konsultan itu menduga sulitnya walet bersarang karena penempatan tweeter yang salah. 'Rupanya posisi tweeter yang berhadapan membuat suara antartweeter bertabrakan. Akibatnya walet sulit menentukan sumber suara,' ujar Afong yang kemudian mencoba sistem tweeter oper bola. Terbukti setelah posisi dan jarak antartweeter diubah, muncul suara jernih yang membuat walet mau menetap.

Atur jarak

Sistem tweeter oper bola yang didesain oleh Ir Lazuardi Normansah pada 1997 bertujuan untuk mengundang walet tertarik masuk, terutama burung baru. 'Diusahakan burung yang datang itu langsung menginap dan dapat ditolerir sampai hari ketiga,' ujar konsultan walet di Jakarta Barat. Langkah awal untuk mengundang walet adalah dengan memasang 2-4 tweeter luar di pintu masuk walet yang terletak di lantai teratas. 'Tweeter harus menghadap keluar supaya suaranya jelas terdengar oleh walet,' kata kelahiran Riau, 40 tahun lalu.

Tweeter lain, void, dipasang lebih dalam berjarak 1-2 m dari tweeter luar. Tujuannya supaya suara tweeter luar samar-samar terdengar dalam ruangan. 'Kalau tweeter void tidak ada, walet-walet itu akan mengikuti arah suara tweeter luar dan walet akan keluar rumah lagi,' ujar Lazuardi. Nah, agar burung masuk sampai ke lantai bawah, pada void di tiap lantai juga dipasang sebuah tweeter. Posisi tweeter antarlantai-tweeter dalam-berselang-seling. Jarak pemasangan setengah dari lebar sirip tembok.

Tweeter dalam yang terpasang pada sirip-sirip perlu diatur letaknya. Idealnya setiap 1 m² dipasang sebuah tweeter dengan jarak 10-20 cm dari bibir sirip. 'Biasanya walet suka menempel pada tweeter. Bila posisi tweeter dekat bibir sirip, walet jadi takut dan malas bersarang,' ujar Lazuardi. Selain itu posisi tweeter diupayakan tegak lurus agar suara yang keluar terdengar jelas.

Ragam suara

Selain posisi dan jarak, jenis suara menjadi bagian penting memancing walet masuk dan bersarang. Untuk itu menurut Lazuardi perlu dipasang cd suara kawin, bermesraan, saling memanggil, dan piyik. Yang lain suara walet remaja bermain di tweeter luar. Yang disebut pertama lebih dominan terdengar, sekitar 60-70%. Hal itu untuk merangsang walet segera mencari pasangan dan kawin. Suara piyik dan remaja bermain digunakan 10-20%. Begitu pula suara panggil digunakan sebesar 10-20%. 'Walet itu hidup berkoloni. Saat mendengar suara-suara itu mereka tidak akan merasa sendiri,' jelas Lazuardi.

Pada tweeter dalam dan void suara walet mengasuh piyik, piyik, dan remaja yang sedang bermain lebih dominan. Masing-masing porsinya mencapai 20-30%.

Sisanya, suara walet saat birahi dan bermesraan. Pada tweeter luar, dalam, dan voidragam suara itu dipasang dengan durasi 20 menit yang direkam dalam cd.

Lamanya tweeter menyala mempengaruhi kehadiran walet. Tweeter luar dan void hanya dihidupkan setiap hari pukul 05.00-19.00 WIB. Tweeter dalam pada rumah yang telah berproduksi dipasang mulai pukul 04.00-21.00 WIB. Pemasangan pagi huta untuk tanda waktu agar burung keluar mencari pakan,' tutur Lazuardi. Sedangkan tweeter dalam di rumah dibiarkan menyala selama 24 jam.

Mikroklimat

Tweeter yang mampu bekerja maksimal dapat membuat walet masuk dan bersarang. 'Bila dianggap nyaman walet akan menyusuri ruangan sampai ke lantai bawah,' kata Lazuardi. Pada rumah baru, walet biasanya akan berhati-hati masuk lantaran takut. 'Dalam waktu 1-2 detik terbesit keraguan walet untuk tinggal. Namun jika tweeter terpasang benar, keraguan burung akan hilang,' tambahnya.

Tweeter memang bukan satu-satunya faktor penentu walet bersarang. Menurut Hary K Nugroho, konsultan walet di Jakarta Utara, tweeter dipakai sebagai langkah awal menarik walet masuk ke dalam rumah. 'Setelah masuk, selanjutnya mikroklimat dan aroma dalam rumah memegang peran penting,' ujarnya. Idealnya suhu diatur 28-30°C, sehingga tweeter bakal bekerja lebih ringan untuk memikat walet bersarang. (Lastioro Anmi Tambunan)

BIJAK KPILIH RUMAH WALET

Seri Walet (133) Bijak Pilih Rumah Walet
Oleh trubus
Senin, Juli 07, 2008 15:35:21 Kirim-kirim Print version

'Dijual rumah walet 15 m x 7 m. Tiga lantai. Siap isi'. Tawaran menarik dari teman dekat itu segera disambar William-bukan nama sebenarnya-di Jakarta Barat. 'Saya langsung beli seharga Rp0,5 miliar,' katanya. Namun, seiring perjalanan waktu janji walet-walet itu akan bersarang bak jauh panggang dari api. 'Jangankan bersarang, untuk memancing walet masuk saja susahnya setengah mati,' tambah pengusaha alat elektronik itu.

William kian masygul saat menjumpai rumah walet orang lain yang berjarak 1 km dari tempat miliknya di Serpong, Tangerang, itu bisa panen 3 kali setahun. 'Kurang apalagi? Cakram CD walet sudah diputar 6 jam sehari. Dinding pun diberi ramuan walet, tapi hasilnya nihil,' katanya. Bahkan sriti yang mendahului masuk sebelum walet datang juga tidak segera bersarang.

Menurut Harry K. Nugroho, praktikus walet di Jakarta Utara, hal yang menimpa William itu salah satu efek maraknya penjualan rumah walet belakangan ini. Di berbagai surat kabar pariwara dijualnya rumah walet kerap terpampang. 'Rumah yang dijual biasanya produksinya rendah atau memang sulit mengundang walet. Yang tidak mengerti hal itu akan langsung tergiur oleh iming-iming produksi tinggi,' ujarnya. Boleh jadi William adalah salah satu yang menjadi korban.

Sejatinya penjualan rumah walet jadi-real estate walet-adalah bisnis menarik. Tren yang muncul sejak 1999 itu memancing banyak pengusaha mencemplungkan modal besar demi membangun kavling walet. Itu tampak di Tangerang, Serang, Bekasi, hingga Subang, Jawa Barat. Sayang, antusiasme itu malah mengundang petaka. Yang menyedihkan, banyak tempat yang menjadi sumber serangga seperti sawah dan padang rumput bersalin rupa menjadi bangunan walet. 'Serangga jadi sulit didapat sehingga walet semakin jauh mencari pakan,' kata Harry. Ujungnya bisa ditebak, populasi turun bahkan rumah tak kunjung terisi walet.

Cermat

Kondisi itu memang harus diwaspadai pembeli. Menurut Doddy Pramono, konsultan walet di Haurgeulis, Indramayu, saat me milih rumah walet perlu dipastikan lokasi rumah berada di daerah lintasan walet. Maksudnya dilalui walet saat pergi dan pulang mencari pakan.

Selain itu lokasi terpilih dekat dengan sumber pakan. 'Paling jauh sekitar 2 km,' ujar Harry. Sayang hal itu sudah sulit ditemui di Jawa, kecuali di Kalimantan, Sumatera, atau Sulawesi.

Meski demikian, walet sebetulnya dapat menempuh jarak puluhan kilometer untuk mencari pakan. Jadi, 'Kalau sekadar berisi walet, bisa. Yang sulit memprediksi tingkat huniannya,' kata Doddy. Pria yang mengeluti walet sejak 1994 itu menyebut, idealnya rumah walet 3 lantai seluas 72 m2 berisi 50 sarang supaya dapat dipanen setiap tahun.

Hal lain yang mesti dicermati saat membeli rumah walet adalah memprediksi populasinya. Padat atau tidaknya populasi dapat dicek dengan memutar cakram CD pemikat walet. Populasi disebut padat bila dalam ½ jam sejak CD diputar tampak sekitar 100 individu. 'Tapi kalau hanya 10 ekor populasinya sangat rendah,' kata Doddy. Oleh sebab itu, pemikiran rumah walet harus berukuran besar agar bisa menampung walet lebih banyak tidaklah sepenuhnya benar. Percuma membangun rumah walet berukuran besar jika populasi walet di lokasi itu sedikit. 'Kecuali kalau mau menunggu hingga bertahun-tahun,' tambahnya.

Luar Jawa

Kavling-kavling walet di Pulau Jawa cenderung sulit untuk diharapkan bisa menjaring walet dalam jumlah besar. Di Jawa kini memasuki masa suram untuk pengembangan rumah walet. Kondisi sebaliknya justru terjadi di Kalimantan. Itulah yang dialami para pemain walet di Ketapang. Sebut saja Timotius Kim.

'Sejak 3 tahun terakhir kavling walet banyak tumbuh di jalur Pontianak sampai Ketapang,' ungkap Viany Cin Hong, konsultan walet di Pontianak. Viany menuturkan perusahaannya mengalami kenaikan penjual an perlengkapan rumah walet 200-300% dibandingkan 5 tahun lalu. Sayang, ia menolak menyebut angka pasti. Yang jelas omzetnya sampai puluhan juta rupiah tiap bulan.

Menurut Viany di luar Jawa kondisi alam masih mendukung untuk perkembangan walet. Sebut saja sumber pakan melimpah sehingga memungkinkan penambahan populasi lebih cepat. Perkebunan sawit yang kian meluas dan peternakan ayam yang muncul di berbagai tempat adalah bagian dari pengkayaan sumber pakan. Di luar Jawa ini pula belum banyak pabrik yang mendorong si penghasil liur emas itu untuk bermigrasi. Yang terpenting, rumah-rumah walet belum banyak sehingga tidak terjadi persaingan.

Namun, pengembangan rumah walet di luar Jawa bukan tanpa hambatan. Awal tahun lalu pemda Kota Pontianak mengeluarkan perda yang melarang pemba ngunan gedung walet di dalam kota. Tujuannya, 3-5 tahun mendatang tidak ada lagi gedung walet di tengah kota. Setahun sebelumnya, pemda Kabupaten Ketapang sudah menempuh jalur sama. Rumah walet dianggap merusak keindahan kota, mengancam kebersihan lingkungan, sampai memancing kecemburuan sosial. Makanya izin pembangunan rumah baru tidak diberikan. (A. Arie Raharjo)

Selasa, 22 Juli 2008

Seminar Strategi Jitu Memikat Walet

Seminar Strategi Jitu Memikat Walet yang diselenggarakan oleh Eddy Salim di Hotel Gajah Mada, Pontianak - Indonesia telah berlangsung sukses. Seminar dihadiri oleh 68 peserta yang berasal dari Indonesia, Malaysia dan Brunei.
Saya merupakan pembicara utama di seminar ini yag membahas teknik-teknik terkini untuk memikat burung walet agar burung walet dapat masuk, tinggal dan membuat sarang.

Mikro habitat rumah walet memegang peranan penting sebelum pemikatan dilakukan dengan menggunakan suara. Kita dapat menggunakan berbagai jenis suara asli, artificial dan atau suara-suara lain untuk menarik perhatian burung walet mendekati rumah burung walet (RBW) atau lubang masuk burung (LMB), namun bila mikro habitat RBW tidak memadai maka burung walet tidak akan tinggal apalagi bersarang di RBW tersebut.

Jumat, 11 Juli 2008

Sarawak Forestry issued a statement on Swiftlet Farming in Sarawak

Kuching, Tuesday, September 11, 2007 - SARAWAK FORESTRY today issued a statement on swiftlets farming in Sarawak.

In Sarawak, edible bird nests industry has a long history of traditional and intimate involvement of local communities; at least 150 years old. Since 1998, sustainable harvest of wild bird nests population from natural caves has been introduced. This effort, not only stop the decline of the wild swiftlets population but also substantially increase some colonies in example in the case of middle Baram, Bukit Sarang and Niah Cave.

This natural resources has benefited the local communities who are licensed to collect edible bird nests from the natural caves. Economic wise, it has become a sustainable income to the local communities and swiftlets population are able to be managed sustainably.

According to SARAWAK FORESTRY, under Section 19 in the Wildlife Protection Rules, 1998 it is stated that "no person shall establish, own or maintain a commercial wild life farm without a license issued by the Controller".

The spokesman advised that under Wild Life Protection (Amendment) Ordinance, 2003, it is clearly stated that "No person shall, without a license from the Controller, build, erect, maintain or set up any building or structure for the purposes of harbouring, or providing facilities or environment for, swiftlets to make or create nests thereon with a view to collecting and taking edible birds´ nests for sale or trade".

Commercial wild life farm includes a place, premises, ranch or estate where wildlife is reared, bred, grown, or maintained for trade or sale or other commercial purposes, but exclude a livestock farm licensed under the Natural Resources and Environment (Control of Livestock Pollution) Rules, 1996.

It is important to note said the spokesman that, all swiftlets including all species of Aerodrarnus, Hydrochous and Collocalia are protected under the Wild Life Protection Ordinance, 1998 thus whether the swiftlets are in urban areas or not, the Ordinance still applies.

SARAWAK FORESTRY acknowledges that edible bird nests (i.e: farming) are lucrative business, because the edible bird nests is an export commodity and valuable. In the past few years, swiftlets farming experienced rapid expansion in Sarawak and Sarawak´s State Cabinet is not opposing the development of swiftlets farming industries provided that it is done in healthy manner, on agriculture land.

This is evident in Rules 18(a) & (b), The Wild Life Protection (Edible Birds´ Nests) (Ammendment) Rules, 2006 which allow for swiftlets farming to exclude:

  1. within an area or land cleared to be town land under section 11(1) of the Land Code [Cap. 81 (1958 Ed.)]; or
  2. within an area of land declared to be town land under section 11(1) of the Land Code [Cap. 81 (1958 Ed.)] unless the special condition of the title for the land allows it to be used for agriculture and written approval has been obtained from Superintendent of Land and Surveys of the Division for the erection of the building to be used for swiftlets farming.

In this instance, operating in shop lots at any building is a violation of these Rules. On the use of shop lots by swiftlets farmers, said the spokesman, according to their expert, it is not conducive in the long run for swiftlets apart from the speakers used to imitate the swiftlets chirping sound can prove to be a nuisance to the surrounding communities when the volume is amplified. In addition to that, he said that though swiftlets roost in the building as in the case of farming in shop houses, inevitably its droppings still have the tendency to land outside their premises.

Furthermore, without proper technique and out of ignorance, water ponds installed in these shop houses can produce obnoxious smells when huge amount of swiftlets droppings fell in it.

However, swiftlets farming is permissible via the approval and license issued by Controller and subject to related rules and regulation stated in the license thereof.

The spokesman said that "there are success stories of swiftlets farming in rural areas/ agriculture land when done in proper manner and in accordance with prescribed rules and regulations stated under the Ordinance. This should be the way forward". The notion that swiftlets farming in rural areas are not prosperous is not true because there are equally large number of unsuccessful swiftlets farming in shop lots. The success depend very much on technique and know-how of this industry.

In conclusion, the State Government encourages swiftlets farming established legally with license approved by the Controller and done in rural areas or agriculture land, which adheres to related rules and regulations.